Benarkah Gunung Kawi Tempat Mencari Pesugihan?



Siapa yang tak kenal dengan Gunung Kawi. Gunung yang terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur ini sangat terkenal bagi para pencari pesugihan. Tak sedikit orang yang ingin mengubah nasibnya secara instan berziarah di gunung ini.



Bahkan konon Gunung Kawi adalah gunung yang paling populer di Indonesia dan Asia Tenggara untuk mencari pesugihan. Banyak warga negara asing seperti warga Singapura, Malaysia, Myanmar, serta China sering melakukan ziarah untuk berbagai kepentingan.

Hingga saat ini, belum ada data-data yang valid mengenai berapa banyak orang yang tiba-tiba menjadi kaya lantaran melakukan ritual di Gunung Kawi. Namun, informasi dari mulut ke mulut, akhirnya membuat banyak orang melakukan ritual atau ngalap berkah untuk sekadar mengubah nasib.

Gunung Kawi terletak di ketinggian 2.551 dari bawah permukaan laut, masuk di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Mayoritas warganya adalah bermata pencaharian sebagai petani. Tak sedikit pula yang mengadu nasib menjadi TKI di luar negeri.

Di kompleks Gunung Kawi terdapat pesarean penyebar agama Islam di Pulau Jawa, Eyang Raden Mas Imam Sudjono. Ajaran yang ditekankan oleh Eyang Imam Sudjono kepada keturunannya beserta murid-muridnya kala itu adalah ajaran Islam yang lebih ditekankan akhlakul karimah atau budi pekerti yang terpuji.

Menurut buku Sejarah Pesarean Gunung Kawi yang dikarang oleh Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo atau Raden Mas Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke wilayah Gunung Kawi ini.

Setelah tidak perang dengan senjata, mereka berdua mengubah perjuangannya melalui pndidikan. Selain dakwah agama Islam, mereka juga menanamkan ajaran moral kejawen, dan juga ketrampilan bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan, dan sebagainya.

Pada tahun 1871, Eyang Jugo meninggal dunia, disusul kemudian menyusul Eyang Iman Sujo tahun 1876. Para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke makam mereka melakukan peringatan.

Setiap malam Jumat Legi, malam meninggalnya Eyang Jugo, dan juga peringatan wafatnya Eyang Sujo etiap tanggal 1 bulan Suro (muharram), di tempat ini selalu diadakan perayaan tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.

Di luar makam, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewa ndaru, yang berarti pohon kesabaran.

Jika dilihat dari bentuknya, pohon tersebut mirip pohon cereme, yang diduga berasal dari negeri Cina. Eyang Jugo dan Eyang Sujo menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman.

Para peziarah meyakini, jika kejatuhan dahan, buah dan daun pohon tersebut, mereka akan mendapatkan keberuntungan. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut. Namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Butuh waktu berhari-hari, atau bahkan berbulan-bulan untuk mendapatkannya.

Selain terdapat makam kedua tokoh di atas, di kompleks Gunung Kawi juga terdapat sebuah kuil/klenteng tempat untuk bersembahyang atau melakukan ritual umat Budha atau Kong Hu Cu. Setiap hari banyak warga Tioghoa mengunjungi kuil tersebut untuk berziarah dan berdoa. Pada saat-saat tertentu misalnya Jumat Legi, Senin Pahing, Syuro, dan Tahun Baru, jumlah pengunjung makin membludak.

Berbagai alasan warga yang mengunjungi Gunung Kawi. Ada yang cuma ingin berwisata saja, melakukan penelitian, ziarah untuk minta lancar rezeki, atau bahkan ada juga yang konon mencari pesugihan. Berminat ke sana?

Follow On Twitter